Entri Populer

Sabtu, 29 Januari 2011

TUGAS BAHASA INDONESIA

KOORDINASI DAN SUBORDINASI

A. Pengertian
Jika kita mengamati satuan-satuan sintaktis (frasa dan kalimat) ternyata satuan –satuan tersebut terdiri atas bagian-bagian yang lebih sederhana. Bagian-bagian yang membentuk satuan sintaktis tersebut sering disebut konstituen (Moeljono, 1988:257). Konstituen yang membentuk satuan sintaksis tersebut memiliki hubungan antara konstituen-konstituen pembentuknya. Hubungan konstituen yang salah satunya terikat pada konstituen lain disebut hubungan subordinasi. Sebaliknya, hubungan konstituan yang mandiri, konstituen-konstituen pembentuk satuan sintaksis mampu berdiri sendiri, tidak saling terikat disebut hubungan koordinasi.
Dalam kamus linguistik subordinasi diartikan 1) penggabungan dua unsur gramatikal dengan cara sedemikian rupa sehingga yang satu terikat pada yang lain, 2) hubungan antara klausa terikat dan klausa bebas (Kridalaksana, 2008:229). Koordinasi diartikan 1) penggabungan satuan-satuan gramatikal sederajat dengan konjungsi koordinatif, seperti dan, atau, tetapi, 2) konstruksi gramatikal yang terjadi demikian (Kridalaksana, 2008:136).
Menurut keraf koordinatif adalah kedudukan pola-pola kalimat sama tinggi, tidak ada pola-pola kalimat yang menduduki suatu fungsi dari pola yang lain. Subordinatif berarti hubungan antara pola-pola kalimat tidak sederajat, karena ada pola kalimat yang menduduki suatu fungsi dari pola yang lain (Keraf, 1984:168)

B. Subordinasi dan Koordinasi dalam Satuan Sintaktis
Berdasarkan pengertian dalam kamus linguistik, subordinasi bisa berkonstruksi frasa (dalam pengertian pertama) dan bisa berkonstrukasi kalimat (dalam pengertian kedua). Koordinasi juga bisa berkonstruksi frasa (dalam pengertian pertama) dan bisa berkonstruksi kalimat (dalam pengertian kedua). Jika pengertian Keraf subordinasi dan koordinasi hanya berkonstruksi kalimat.

1. Subordinasi dalam Konstruksi Frasa
Subordinasi dalam konstruksi frasa artinya unsur-unsur pembentuk frasa (konstituen frasa) memiliki unsur yang terikat unsur yang lain, contoh:
/mobil baru/ 
Frase tersebut terdiri atas konstituen ”mobil” dan ”baru”. Mobil pada frasa mobil baru memiliki kemandirian, sedangkan baru terikat pada unsur mobil. Frasa mobil baru adalah frasa subordinatif.

2. Subordinasi dalam Konstruksi Kalimat
Subordinasi juga terdapat pada konstruksi kalimat, kalimat dalam hal ini adalah kalimat yang memiliki dua konstruksi klausa, yaitu terdiri atas klausa bebas dan klausa terikat sehingga oleh keraf hubungan antar klausa tersebut tidak sederajat. Klausa bebas sebagai pokok kalimat, sedangkan klausa terikat menduduki fungsi dalam dalam kalimat yang lebih luas, contoh:
”Demonstrasi mahasiswa terjadi ketika pemerintah menaikkan harga BBM.”
Kalimat tersebut terdiri atas dua klausa:
/demonstrasi mahasiswa terjadi kemarin/
/pemerintah menaikkan harga BBM/ 
Klausa pertama merupakan klausa pokok karena bukan dari fungsi sintaktis yang lebih luas. Sedangkan klausa kedua adalah klausa sematan karena klausa tersebut menduduki fungsi keterangan pada konstruksi sintaktis yang lebih luas. Kalimat yang demikian disebut kalimat subordinatif.

3. Koordinasi dalam Konstruksi Frasa
Koordinasi dalam konstruksi frasa artinya unsur-unsur (konstituen) frasa memiliki kemandirian, tidak ada unsur yang terikat pada unsur lain, contoh:
/hancur lebur/
Frasa tersebut terdiri atas unsur ”hancur” dan ”lebur”. Kedua unsur tersebut memiliki kemandirian. Unsur ”hancur” tidak terikat unsur ”lebur”. Demikian pula, unsur ”lebur” tidak terikat unsur ”hancur”. Frasa yang demikian disebut frasa koordinatif.
4. Koordinasi dalam Konstruksi Kalimat
Koordinasi dalam kalimat terdapat pada kalimat yang memiliki dua klausa. Kedua klausa tersebut memiliki hubungan sederajat. Tidak ada klausa yang merupakan fungsi sintaktis dalam kalimat yang lebih luas. Kedua klausa biasanya dihubungkan dengan konjungtor koordinatif, seperti dan, atau, tetapi, contoh:
”Saya sudah meminta izin kepada orang tuaku, tetapi orang tuaku tidak mengizinkannya.”
Kalimat tersebut terdiri atas dua klausa:
/saya sudah meminta izin kepada orang tuaku/
/orang tuaku tidak mengizinkannya/
Kedua klausa memiliki kemandirian sebagai sebuah kalimat karena tidak ada klausa yang merupakan fungsi sintaktis yang lebih luas. Kalimat yang demikian sering disebut kalimat koordinatif.

C. Analisis Subordinasi dan Koordinasi dalam Satuan Sintaktis
Subordinasi dan koordinasi dalam konstruksi sintaktis sudah diuaraikan di atas, namun jika mencari contoh lain akan timbul masalah, contoh:
/meja kursi baru/
Frasa tersebut memiliki tiga unsur yaitu ”meja”, ”kursi”, dan ”baru”. Unsur ”meja” dan ”kursi” adalah unsur bebas, sedangkan unsur ”baru” adalah unsur terikat. jika demikian frasa tersebut termasuk frasa subordinatif atau frasa koordinatif.
Untuk menelaah frasa di atas kita harus mengetahui proses unsur-unsr tersebut membentuk satuan sintaktis frasa. Proses pembentukkan frasa di atas dapat dibuat bagan sebagai berikut:
meja + kursi + baru

Unsur ”meja” dan ”kursi” membentuk frase lebih dulu ”meja kursi”. Frase ”meja kursi” membentuk frase yang lebih luas menjadi ”meja kursi baru”. Frase ”meja kursi” adalah frase koordinatif, sedangkan frase ”meja kursi baru” disebut frase subordinatif.
Cobalah analisis frase-frase berikut!
/penyiar televisi swasta/
/rumah hancur lebur/
/mobil baru suami istri/
Permasalahan subordinasi dan koordinasi juga terjadi pada tataran kalimat. Perhatikan contoh berikut:
”Demonstrasi mahasiswa terjadi ketika pemerintah menaikkan harga BBM dan masyarakat membutuhkan lapangan kerja.”
Kalimat tersebut terdiri atas tiga klausa, yaitu
/demonstrasi mahasiswa terjadi kemarin/
/pemerintah menaikkan harga BBM/
/masyarakat membutuhkan lapangan kerja/
Klausa pertama adalah klausa bebas, sedangkan klausa kedua dan ketiga adalah klausa terikat karena memiliki satu fungsi sintaktis yang lebih luas. Kalimat semacam itu disebut kalimat campuran dengan satu klausa bebas dan dua klausa terikat. Konstruksi kalimat lain juga bisa terdiri atas dua klausa bebas dan satu klausa terikat. Bisakah Anda membuat contoh kalimat tersebut? Jika, ya. Cobalah Anda buat contohnya.

Pustaka
Ba’dulu, Abdul Muis dan Herman. 2005. Morfosintaksis. Jakarta : Rineka Cipta
Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Ende-Flores : Nusa Indah
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Moeljono, anton M. et.al. 1993. Tata bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

BERCINTA MENURUT ISLAM

Sebagai bagian dari fitrah kemanusiaan, Islam tidak pernah memberangus hasrat seksual. Islam memberikan panduan lengkap agar seks bisa tetap dinikmati seorang muslim tanpa harus kehilangan ritme ibadahnya.

Bulan Syawal, bagi umat Islam Indonesia, bisa dibilang sebagai musim kawin. Anggapan ini tentu bukan tanpa alasan. Kalangan santri dan muhibbin biasanya memang memilih bulan tersebut sebagai waktu untuk melangsungkan aqad nikah.

Kebiasaan tersebut tidak lepas dari anjuran para ulama yang bersumber dari ungkapan Sayyidatina Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq yang dinikahi Baginda Nabi pada bulan Syawwal. Ia berkomentar, “Sesungguhnya pernikahan di bulan Syawwal itu penuh keberkahan dan mengandung banyak kebaikan.”

Namun, untuk menggapai kebahagiaan sejati dalam rumah tangga tentu saja tidak cukup dengan menikah di bulan Syawwal. Ada banyak hal yang perlu dipelajari dan diamalkan secara seksama oleh pasangan suami istri agar meraih ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), baik lahir maupun batin. Salah satunya –dan yang paling penting– adalah persoalan hubungan intim atau dalam bahasa fiqih disebut jima’.

Sebagai salah tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim –menurut Islam– termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan mengandung nilai pahala yang sangat besar. Karena jima’ dalam ikatan nikah adalah jalan halal yang disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat biologis insani dan menyambung keturunan bani Adam.

Selain itu jima’ yang halal juga merupakan iabadah yang berpahala besar. Rasulullah SAW bersabda, “Dalam kemaluanmu itu ada sedekah.” Sahabat lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala dengan menggauli istri kita?.” Rasulullah menjawab, “Bukankah jika kalian menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala.” (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah)

Karena bertujuan mulia dan bernilai ibadah itu lah setiap hubungan seks dalam rumah tangga harus bertujuan dan dilakukan secara Islami, yakni sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW.
Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauzi dalam Ath-Thibbun Nabawi (Pengobatan ala Nabi), sesuai dengan petunjuk Rasulullah memiliki tiga tujuan: memelihara keturunan dan keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.
Ulama salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya menjaga tiga hal pada dirinya: Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus melakukannya tidak akan mengalami kesulitan; Jangan sampai tidak makan, agar usus tidak menyempit; dan jangan sampai meninggalkan hubungan seks, karena air sumur saja bila tidak digunakan akan kering sendiri.

Wajahnya Muram

Muhammad bin Zakariya menambahkan, “Barangsiapa yang tidak bersetubuh dalam waktu lama, kekuatan organ tubuhnya akan melemah, syarafnya akan menegang dan pembuluh darahnya akan tersumbat. Saya juga melihat orang yang sengaja tidak melakukan jima’ dengan niat membujang, tubuhnya menjadi dingin dan wajahnya muram.”

Sedangkan di antara manfaat bersetubuh dalam pernikahan, menurut Ibnu Qayyim, adalah terjaganya pandangan mata dan kesucian diri serta hati dari perbuatan haram. Jima’ juga bermanfaat terhadap kesehatan psikis pelakunya, melalui kenikmatan tiada tara yang dihasilkannya.

Puncak kenikmatan bersetubuh tersebut dinamakan orgasme atau faragh. Meski tidak semua hubungan seks pasti berujung faragh, tetapi upaya optimal pencapaian faragh yang adil hukumnya wajib. Yang dimaksud faragj yang adil adalah orgasme yang bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, yakni suami dan istri. Mengapa wajib? Karena faragh bersama merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai tujuan pernikahan yakni sakinah, mawaddah dan rahmah.

Ketidakpuasan salah satu pihak dalam jima’, jika dibiarkan berlarut-larut, dikhawatirkan akan mendatangkan madharat yang lebih besar, yakni perselingkuhan. Maka, sesuai dengan prinsip dasar islam, la dharara wa la dhirar (tidak berbahaya dan membahayakan), segala upaya mencegah hal-hal yang membahayakan pernikahan yang sah hukumnya juga wajib.
Namun, kepuasan yang wajib diupayakan dalam jima’ adalah kepuasan yang berada dalam batas kewajaran manusia, adat dan agama. Tidak dibenarkan menggunakan dalih meraih kepuasan untuk melakukan praktik-praktik seks menyimpang, seperti sodomi (liwath) yang secara medis telah terbukti berbahaya. Atau penggunaan kekerasaan dalam aktivitas seks (mashokisme), baik secara fisik maupun mental, yang belakangan kerap terjadi.

Maka, sesuai dengan kaidah ushul fiqih “ma la yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (sesuatu yang menjadi syarat kesempurnaan perkara wajib, hukumnya juga wajib), mengenal dan mempelajari unsur-unsur yang bisa mengantarkan jima’ kepada faragh juga hukumnya wajib.

Bagi kaum laki-laki, tanda tercapainya faragh sangat jelas yakni ketika jima’ sudah mencapai fase ejakulasi atau keluar mani. Namun tidak demikian halnya dengan kaum hawa’ yang kebanyakan bertipe “terlambat panas”, atau –bahkan— tidak mudah panas. Untuk itulah diperlukan berbagai strategi mempercepatnya.
Dan, salah satu unsur terpenting dari strategi pencapaian faragh adalah pendahuluan atau pemanasan yang dalam bahasa asing disebut foreplay (isti’adah). Pemanasan yang cukup dan akurat, menurut para pakar seksologi, akan mempercepat wanita mencapai faragh.

Karena dianggap amat penting, pemanasan sebelum berjima’ juga diperintahkan Rasulullah SAW. Beliau bersabda,“Janganlah salah seorang di antara kalian menggauli istrinya seperti binatang. Hendaklah ia terlebih dahulu memberikan pendahuluan, yakni ciuman dan cumbu rayu.” (HR. At-Tirmidzi).

Ciuman dalam hadits diatas tentu saja dalam makna yang sebenarnya. Bahkan, Rasulullah SAW, diceritakan dalam Sunan Abu Dawud, mencium bibir Aisyah dan mengulum lidahnya. Dua hadits tersebut sekaligus mendudukan ciuman antar suami istri sebagai sebuah kesunahan sebelum berjima’. Ketika Jabir menikahi seorang janda, Rasulullah bertanya kepadanya, “Mengapa engkau tidak menikahi seorang gadis sehingga kalian bisa saling bercanda ria? …yang dapat saling mengigit bibir denganmu.” HR. Bukhari (nomor 5079) dan Muslim (II:1087).

Bau Mulut

Karena itu, pasangan suami istri hendaknya sangat memperhatikan segala unsur yang menyempurnakan fase ciuman. Baik dengan menguasai tehnik dan trik berciuman yang baik, maupun kebersihan dan kesehatan organ tubuh yang akan dipakai berciuman. Karena bisa jadi, bukannya menaikkan suhu jima’, bau mulut yang tidak segar justru akan menurunkan semangat dan hasrat pasangan. Sedangkan rayuan yang dimaksud di atas adalah semua ucapan yang dapat memikat pasangan, menambah kemesraan dan merangsang gairah berjima’. Dalam istilah fiqih kalimat-kalimat rayuan yang merangsang disebut rafats, yang tentu saja haram diucapkan kepada selain istrinya.
Selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang halal untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’. Demikian Ibnu Taymiyyah berpendapat.

Syaikh Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari, “Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”

Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami istri diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.
Diperbolehkan bagi pasangan suami istri yang tengah berjima’ untuk mendesah. Karena desahan adalah bagian dari meningkatkan gairah. Imam As-Suyuthi meriwayatkan, ada seorang qadhi yang menggauli istrinya. Tiba-tiba sang istri meliuk dan mendesah. Sang qadhi pun menegurnya. Namun tatkala keesokan harinya sang qadhi mendatangi istrinya ia justru berkata, “Lakukan seperti yang kemarin.”

Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji. Bukan yang lainnya. Allah SWT berfirman, “Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).

Posisi Ijba’

Menurut ahli tafsir, ayat ini turun sehubungan dengan kejadian di Madinah. Suatu ketika beberapa wanita Madinah yang menikah dengan kaum muhajirin mengadu kepada Rasulullah SAW, karena suami-suami mereka ingin melakukan hubungan seks dalam posisi ijba’ atau tajbiyah.
Ijba adalah posisi seks dimana lelaki mendatangi farji perempuan dari arah belakang. Yang menjadi persoalan, para wanita Madinah itu pernah mendengar perempuan-perempuan Yahudi mengatakan, barangsiapa yang berjima’ dengan cara ijba’ maka anaknya kelak akan bermata juling. Lalu turunlah ayat tersebut.

Terkait dengan ayat 223 Surah Al-Baqarah itu Imam Nawawi menjelaskan, “Ayat tersebut menunjukan diperbolehkannya menyetubuhi wanita dari depan atau belakang, dengan cara menindih atau bertelungkup. Adapun menyetubuhi melalui dubur tidak diperbolehkan, karena itu bukan lokasi bercocok tanam.” Bercocok tanam yang dimaksud adalah berketurunan.
Muhammad Syamsul Haqqil Azhim Abadi dalam ‘Aunul Ma’bud menambahkan, “Kata ladang (hartsun) yang disebut dalam Al-Quran menunjukkan, wanita boleh digauli dengan cara apapun : berbaring, berdiri atau duduk, dan menghadap atau membelakangi..”

Demikianlah, Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, lagi-lagi terbukti memiliki ajaran yang sangat lengkap dan seksama dalam membimbing umatnya mengarungi samudera kehidupan. Semua sisi dan potensi kehidupan dikupas tuntas serta diberi tuntunan yang detail, agar umatnya bisa tetap bersyariat seraya menjalani fitrah kemanusiannya.

BERMESRAAN PADA BULAN RAMADHAN

pertanyaan yang sering muncul dalam aktifitas percintaan saat bulan ramadhan adalah hukum mandi junub setelah subuh. Dengan berbagai alasan (misalnya malu pada anggota keluarga lain bila terlihat mandi sebelum sahur), tidak sedikit pasangan suami istri yang melakukan mandi junub setelah masuk waktu sholat subuh. Padahal sebelumnya mereka sudah sahur dan meniatkan diri berpuasa.

Ustadz Sigit Pranowo,Lc. al-Hafidz, seperti yang dilansir eramuslim.com menjelaskan, dibolehkan bagi seorang yang sedang berpuasa untuk mandi. Hal itu tidaklah berpengaruh kepada puasanya


Ibnu Qudamah didalam “al Mughni” (18/3) mengatakan,”Tidak mengapa seorang yang tengah berpuasa mandi. Dia berargumentasi dengan apa yang diriwayatkan oleh Bukhori (1926) dan Muslim (1109) dari Aisyah dan Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw mendapatkan waktu fajar sedangkan beliau saw dalam keadaan junub di rumah keluarga beliau kemudian beliau mandi dan berpuasa.”

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari sebagian sahabat Nabi saw berkata sungguh aku telah melihat Rasulullah saw menuangkan air ke kepalanya karena haus atau panas, sementara beliau sedang berpuasa. (Dishahihkan ole al Albani didalam Shahih Abi Daud)

Didalam kitab “Aunul Ma’bud” disebutkan bahwa hadits ini merupakan dalil dibolehkannya seorang yang tengah berpuasa menghilangkan rasa panas dengan menuangkan air ke sebagian atau seluruh tubuhnya. Ini juga menjadi pendapat jumhur dan mereka tidaklah membedakan antara mandi wajib, sunnah maupun mubah.

Bukhori mengatakan didalam “Bab Mandinya Orang yang Berpuasa” bahwa Ibnu Umar telah membasahi pakaiannya sementara ia tengah berpuasa. Asy Sya’bi memasuki kamar mandi dalam keadaan berpuasa.. al Hasan berkata,”Tidak mengapa bagi orang yang berpuasa untuk berkumur-kumur dan mendinginkan dari rasa panas.”

Al Hafizh mengatakan,”ungkapannya (Bukhori) “Bab Mandinya Orang yang Berpuasa” adalah penjelasan akan dibolehkannya hal itu. az Zain bin al Munayyir mengatakan,”Dimutlakkannya kata mandi itu mencakup mandi-mandi yang sunnah, wajib maupun mubah. Seakan-akan dia menunjukkan akan kelemahan apa yang diriwayatkan dari Ali yang berisi larangan bagi orang yamg berpuasa memasuki kamar mandi, dan riwayat itu dikeluarkan oleh ar Razaq dan didalam sanadnya terdapat kelemahan. (Fatawa al Islam Sual wa Jawab 38907)

Dibolehkan bagi seseorang yang tengah berpuasa untuk mandi junub setelah masuk waktu fajar berdasarkan dalil-dalil diatas.

Namun demikian dilarang bagi seseorang melakukan mandi junub setelah terbitnya matahari karena hal itu berarti mengakhirkan dan menyia-nyiakan pelaksanaan shalat shubuh dan hal ini dilarang Allah swt.


“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam : 59)


Jangan sampai hanya karena malu kepada orang lain mengakibatkan dirinya menunda-nunda atau menyia-nyiakan shalat shubuh. Jadi yang terbaik adalah segera melaksanakan mandi junub dan menunaikan shalat shubuh di awal waktunya.

Rukun-Rukun Mandi

Mandi yang disyariatkan tidaklah mencapai hakikatnya kecuali jika memenuhi dua perkara berikut :

1. Niat, karena inilah yang membedakan ibadah dengan adat kebiasaan. Niat adalah pekerjaan hati. Adapun kebiasaan kebanyakan orang yang melafazhkan niat maka ia adalah perkara bid’ah yang tidak disyariatkan, harus dijauhkan dan dihindari.

2. Membasuh seluruh anggota tubuh, berdasarkan firman Allah swt :
“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah : 6)

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqoroh : 222)
Yang dimaksud dengan suci adalah mandi, sebagaimana dijelaskan pula didalam firman-Nya yang lain :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi…” (QS. An Nisaa : 43)

Sunnah-Sunnah Mandi

Disunnahkan bagi seorang yang mandi untuk memperhatikan perkara-perkara yang pernah dilakukan Rasulullah saw saat mandi dan memulainya dengan :

1. Mencuci kedua tangannya sebanyak tiga kali

2. Kemudian membasuh kemaluannya

3. Kemudian berwudhu secara sempurna sepertihalnya wudhu ketika ingin melaksanakan shalat. Diperbolehkan baginya mengakhirkan membasuh kedua kakinya hingga selesai mandi apabila dirinya mandi dengan bejana atau sejenisnya.

4. Kemudian menuangkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali sambil menyelang-nyelangi rambur agar air dapat sampai ke pangkal rambutnya.

5. Kemudian mengalirkan ait ke seluruh badan dengan memulai sebelah kanannya lalu sebelah kirinya tanpa mengabaikan dua ketiak, bagian dalam telinga, pusat dan jari-jari kaki serta menggosok anggota tubuh yang dapat digosok.

Dari Aisyah dia berkata, "Apabila Nabi saw mandi hadas karena junub, maka beliau memulainya dengan membasuh kedua tangan, lalu menuangkan air dengan tangan kanan ke atas tangan kiri, kemudian membasuh kemaluan dan berwudhu dengan wudhu untuk shalat. Kemudian beliau menyiram rambut sambil memasukkan jari ke pangkal rambut sehingga rata. Hingga ketika selesai, beliau membasuh kepala sebanyak tiga kali, lalu beliau membasuh seluruh tubuh.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Didalam riwayat lain dari keduanya (Bukhori dan Muslim),”Kemudian beliau menyelang-nyelangi rambutnya dengan kedua tangannya hingga kulit kepala terasa basah maka beliau menyiramkankan air keatas kepalanya sebanyak tiga kali.”

Dari Bukhori dan Muslim juga dari Aisyah dia berkata, "Apabila Rasulullah saw mandi karena junub, maka beliau meminta air pada bejana, lalu beliau mengambil air dengan telapak tangannya, beliau memulainya dengan bagian kanan kepalanya kemudian kiri, kemudian mengambil air dengan kedua telapak tangannya dan disiramkan diatas kepalanya.”

Dari Maimunah berkata,”Saya menyediakan air mandi untuk Nabi saw lalu beliau menuangkan air itu kepada kedua telapak tangan dan membasuhnya sebanyak dua atau tiga kali. Setelah itu beliau menuangkan air dengan tangan kanan kepada tangan kirinya lalu membasuh bagian kemaluannya dan menggosokkan tangannya ke tanah, lalu berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung. Setelah itu, barulah beliau membasuh kepalanya sebanyak tiga kali kemudian beliau menyiramkan ke seluruh tubuhnya. Lalu beliau bergeser dari tempatnya dan membasuh kedua telapak kakinya.” Maimunah mengatakan,”Lalu aku membawakan sehelai handuk, tetapi beliau cukup menepis air yang terdapat pada tubuhnya dengan tangannya saja.” (HR. Jama’ah)
Cara mandi bagi seorang wanita sama dengan cara mandi bagi seorang pria. Akan tetapi kaum wanita tidak diwajibkan baginya menguraikan ikat rambutnya dengan syarat air tersebut dapat masuk kedalam pangkal rambutnya, berdasarkan hadits Ummu Salamah berkata,”Ada seorang wanita ang bertanya kepada Rasulullah saw,”Ikatan rambutku sangat kuat, apakah aku harus menguraikannya jika hendak mandi junub? Nabi saw menjawab,”Cukuplah engkau menuangkan air ke atasnya sebanyak tiga kali. Setelah itu hendaklah engkau menyiramkan air ke seluruh tubuhmu. Dengan demikian berarti engkau telah suci.” (HR. Ahmad, Muslim dan Tirmidzi yang mengatakannya sebagai hadits hasan shahih) –(Fiqhus Sunnah juz I hal 74 – 75)
Dan tidak ada keharusan bagi seorang yang mandi hadats untuk menggunakan sampo atau sabun. Begitu pula dengan rambut yang rontok dari seorang wanita yang haid maka tidak ada dalil yang menjelaskan wajib baginya mencuci rambut itu bersamaan dengan keramasnya.

Adapun sebab-sebab yang mewajibkan seseorang mandi adalah :

1. Keluar mani disertai syahwat baik pada waktu tidur maupun terjaga, laki-laki maupun wanita. Ini pendapat para fuqaha pada umumnya, berdasarkan hadits Abu Said bahwa Rasulullah saw bersabda,”Air mani itu mewajibkan mandi.” (HR. Muslim)

2. Pertemuan dua alat kelamin, yaitu memasukkan alat kelamin pria ke dalam alat kelamin wanita walau tidak sampai keluar mani, berdasarkan firman Allah swt :

“Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah : 6)

Syafi’i mengatakan,”Menurut bahasa Arab pada hakikatnya maksud junub itu adalah pertemuan kelamin laki-laki dan perempuan walaupun tanpa disertai dengan orgasme.”

Dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Jika seseorang telah berada diantara anggota tubuh yang empat—kedua tangan dan kedua kaki istrinya—lalu menyetubuhinya maka ia wajib mandi, baik keluar mania tau tidak.” (HR. Muslim dan Ahmad)

3. Terhenti dari haidh dan nifas, berdasarkan firman Allah swt :

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqoroh : 222)

4. Jika seorang muslim meninggal dunia maka wajib dimandikan berdasarkan ijma ulama.

5. Orang kafir jika masuk islam.

Tsumamah al Hanafi ditawan oleh kaum muslimin. Nabi saw mendatanginya di waktu pagi. Beliau bersabda,”Apa keinginanmu, wahai Tusamamah? Jawabnya,”Jika engkau membunuhku maka engkau telah membunuh orang yang berdamai. Jika engkau membebaskanku maka engkau telah membebaskan orang yang tahu berterima kasih. Jika engkau menghendaki harta maka kami akan memberikan kepadamu berapapun yang engkau pinta. Para sahabat Rasulullah saw menginginkan tebusan, mereka berkata,”Apa manfaatnya jika kita membunuhnya?’ Pada hari berikutnya, Rasulullah pun lewat lagi. Lalu Tsumamah masuk islam. Ia pun dibebaskan dan Nabi saw memerintahkan Tsumamah agar dibawa ke kebuh Abu Thalhah dan disuruh supaya dia mandi di sana. Tsumamah pun mandi dan mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat. Nabi saw bersabda,”Saudara kalian ini islamnya baik.” (HR. Ahmad, namun sumbernya dari Bukhori dan Muslim)—(Fiqhus Sunnah juz I hal 64 – 67)

Sedangkan terhadap suami istri yang berhubungan namun tidak sampai terjadi pertemuan kedua kelaminnya (alat kelamin pria tidak dimasuk kedalam alat kelamin wanita), hanya sekedar saling menyentuhnya maka tidaklah diwajibkan bagi keduanya mandi, berdasarkan ijma’ ulama.

tentang HIV

APA ITU HIV

HIV berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Ini adalah retrovirus, yang
berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri untuk memproduksi kembali dirinya.
? Asal dari HIV tidak jelas, penemuan kasus awal adalah dari sampel darah yang dikumpulkan tahun
1959 dari seorang laki–laki dari Kinshasa di Republik Demokrat Congo. Tidak diketahui bagaimana ia
terinfeksi.
? Saat ini terdapat dua jenis HIV: HIV–1 dan HIV–2.
? HIV–1 mendominasi seluruh dunia dan bermutasi dengan sangat mudah. Keturunan yang berbeda–beda
dari HIV–1 juga ada, mereka dapat dikategorikan dalam kelompok dan sub–jenis (clades).
? Terdapat dua kelompok, yaitu kelompok M dan O. Dalam kelompok M terdapat sekurang–kurangnya
10 sub–jenis yang dibedakan secara turun temurun. Ini adalah sub–jenis A–J. Sub–jenis B kebanyakan
ditemukan di America, Japan, Australia, Karibia dan Eropa. Sub–jenis C ditemukan di Afrika Selatan
dan India.
? HIV–2 teridentifikasi pada tahun 1986 dan semula merata di Afrika Barat. Terdapat banyak kemiripan
diantara HIV–1 dan HIV–2, contohnya adalah bahwa keduanya menular dengan cara yang sama, keduanya
dihubungkan dengan infeksi–infeksi oportunistik dan AIDS yang serupa. Pada orang yang terinfeksi
dengan HIV–2, ketidakmampuan menghasilkan kekebalan tubuh terlihat berkembang lebih lambat
dan lebih halus. Dibandingkan dengan orang yang terinfeksi dengan HIV–1, maka mereka yang terinfeksi
dengan HIV–2 ditulari lebih awal dalam proses penularannya.
Apa itu HIV dan jenis–jenis apa saja yang


BAGAIMANA HIV MENULARana HIV menular?
HIV menular melalui cairan tubuh seperti darah, semen atau air mani, cairan vagina, air susu ibu dan
cairan lainnya yang mengandung darah.
Virus tersebut menular melalui:

? Melakukan penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi. Kondom adalah
satu–satunya cara dimana penularan HIV dapat dicegah.

? Melalui darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana darah tersebut belum dideteksi
virusnya atau pengunaan jarum suntik yang tidak steril.

? Dengan mengunakan bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang yang telah terinfeksi.

? Wanita hamil dapat juga menularkan virus ke bayi mereka selama masa kehamilan atau persalinan dan
juga melalui menyusui.







PENGUJIAN HIV


?Infeksi HIV dapat diketahui melalui sebuah pengujian antibodi mengenai HIV. Ketika seseorang terinfeksi
dengan HIV, antibodinya dihasilkan dalam jangka waktu 3–8 minggu. Tahap berikutnya sebelum
antibodi tersebut dapat dideteksi dikenal sebagai "tahap jendela".

?Pengujian dapat dilakukan dengan mengunakan sampel darah, air liur atau air kencing.

?Pengujian yang cepat ada dan menyediakan suatu hasil diantara 10–20 menit. Suatu hasil positif
biasanya menuntut suatu test konfirmatori lebih lanjut.

?Pengujian HIV harus dilakukan sejalan dengan bimbingan sebelum–selama–dan sesudahnya.
Pengujian HIV







BAGAIMANA HIV BEKERJA
? Untuk mengerti bagaimana virus tersebut bekerja, seseorang perlu mengerti bagaimana sistem kekebalan
tubuh bekerja. Sistem kekebalan mempertahankan tubuh terhadap infeksi. Sistem ini terdiri dari
banyak jenis sel. Dari sel–sel tersebut sel T–helper sangat krusial karena ia mengkoordinasi semua sistem
kekebalan sel lainnya. Sel T–helper memiliki protein pada permukaannya yang disebut CD4.
? HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4.
Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita) turunan yang disebut RNA
(ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut
reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia, yang mana, daripada
menghasilkan lebih banyak sel jenisnya, benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus HI.
? Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus yang baru. Virus–virus
baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran darah, dan berhasil menulari lebih
banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan
tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang
lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang.
? Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang terinfeksi dan
mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan kembali
dirinya.
? Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200 sel/ml kubik darah.
Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin
mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik.
? Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem kekebalan tertekan. Pada
seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam
hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal.
? Tanpa perawatan, viral load, yang menunjuk pada jumlah relatif dari virus bebas bergerak didalam plasma
darah, akan meningkat mencapai titik dimana tubuh tidak akan mampu melawannya.